Cah Ayu

thedeepinside
6 min readMar 10, 2024

Gadis dengan rambut panjang ikal alami ini, sudah berdiri menunggu di depan apartemennya. Aby berjanji akan menjemputnya pada pukul 8 pagi.

Dari jauh sudah terlihat motor vespa berwarna biru mendekati arah Jelitha. Bisa Jelitha lihat sekarang sudah ada sosok Aby di depannya. Tapi ia mengerutkan keningnya, terlihat bingung dengan pemandangannya saat ini.

“Kenapa pakai baju olahraga sama bawa raket tenis? Kita mau berangkat volunteer, kan?” Jelitha terheran-heran.

“Iya, aku habis main tenis.” Aby masih sibuk mengambil helm untuk Jelitha.

“Kamu mau kesana pakai baju ini? Belum mandi juga, kan?” perkataan Aby tadi tidak menjawab pertanyaan Jelitha.

Akhirnya Aby menyerahkan helm kepada Jelitha, “Ini mampir kerumah dulu, aku mau mandi sama siap-siap. Dari lapangan tenis tadi searah sama apartemenmu, jadi jemput sekalian aja.”

“Ayo, naik.” Aby menghadap Jelitha dan memintanya untuk segera menaiki vespa biru itu.

“Aby, aku berangkat sendiri aja. Aku enggak enak kalau ikut kerumah kamu dulu,” ujar Jelitha sedikit ragu. Ini benar-benar berbeda dengan agenda yang ada di kepala Jelitha.

“Enggak papa, Litha. Ayo, cepetan naik.” Belum sempat Jelitha menjawab, Aby sudah terlebih dahulu membawa Jelitha untuk menaiki vespa.

Sumpah, selama kurang lebih tiga minggu mengenal Aby. Jelitha terkadang masih tidak mengerti dengan jalan fikir lelaki itu dan aksi mengejutkan apalagi yang akan Aby berikan.

Peribahasa “Jangan menilai buku dari sampulnya,” itu memang benar adanya.

Sangat menggambarkan situasi yang Jelitha rasakan saat ini. Selama ini, ia hanya tau jika rumah Aby searah dengan apartemennya yang ada di Menteng. Tapi ia tidak tahu pasti dimana kawasan rumahnya.

Ia merasa bingung kemana vespa biru ini akan membawa mereka.

Tidak mungkin. Apakah yang aku lihat sekarang ini nyata? Ini benar rumah Aby? Atau dia salah menghentikan vespanya?

Saat ini, dihadapan mereka sudah ada rumah megah di kawasan Jalan Teuku Umar, Menteng. Jelitha tahu betul, daerah ini adalah kawasan elit, dimana banyak rumah milik duta besar, pejabat, dan orang-orang kaya. Apakah Aby salah satunya?

Gerbang besar di hadapan mereka terbuka. Menampilkan bapak-bapak yang Jelitha yakini adalah penjaga atau satpam dari rumah megah ini.

Aby membawa vespa birunya untuk masuk ke dalam. Ia parkirkan vespanya di samping pos satpam.

Oh, mungkin mampir sebentar ke tempat kenalannya.

Jelitha masih mencoba untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Ia mencoba menepis pikiran bahwa saat ini mereka ada di rumah Aby.

Ayolah, wajar jika Jelitha tidak percaya. Jika kalian melihat Aby yang selalu pergi menggunakan vespa lawas, meminta jaringan hotspot milik Niko karena ia tidak memiliki kuota internet, dan sepatu converse hitamnya yang sudah sobek. Apakah meyakinkan jika ini rumahnya?

“Ayo, masuk dulu Tha.” Ajakan Aby membuyarkan lamunan Jelitha.

Jelitha mengikuti Aby untuk masuk ke dalam bangunan ini. Mereka melewati bangunan depan yang terbuat dari kayu merupai joglo adat Jawa. Bisa Jelitha lihat di setiap sudut rumah ini terdapat vas berisi bunga sedap malam. Tidak hanya menjadi dekorasi, tapi juga menjadi pengharum ruangan.

Sekarang mereka sedang berada di ruangan yang Jelitha yakini adalah ruang tamu. Masih dengan gaya arsitektur modern klasik jawa, terlihat dengan pemilihan motif tegel kunci yang klasik dan beberapa interior kayu jati.

“Tunggu bentar ya, aku mau mandi dulu.” Aby mempersilahkan Jelitha untuk duduk di kursi.

“Aby, ini rumah siapa?” Akhirnya Jelitha menanyakan pertanyaan ini.

“Rumahku.” Jawab Aby singkat.

“HAH?” Rasa kaget sudah tidak bisa Jelitha sembunyikan. Pasti sekarang ekspresi wajahnya sangat jelek. Jelitha yakin.

“Udah ya, kamu tunggu di sini dulu. Aku mau naik mandi.”

Aby langsung meninggalkan Jelitha yang masih kehabisan kata-kata. Jelitha menatap sekeliling rumah Aby dengan masih tidak percaya.

Satu kata yang menggambarkan suasa rumah Aby adalah

Hangat

Rumah Aby mengingatkan akan suasana rumah asli Jelitha.

Rumah ini besar, tapi tidak terasa kosong dan hampa. Banyak figura foto keluarga dan pajangan-pajangan di dinding yang semakin menguatkan bahwa rumah ini berpenghuni. Jelitha yakin pasti salah seorang di keluarga Aby suka dengan tanaman. Terlihat dari banyaknya tanaman yang berada di luar rumah dan vas di dalam rumah ini.

“Eh, kok ada cah ayu sendirian disini?” Tiba-tiba suara wanita tua terdengar di telinga Jelitha. Ia melihat dari pintu, keluar seorang wanita cantik yang sedang mengenakan pakain rumah bermotif batik. Jelitha yakin pasti ia adalah ibu Aby.

“Kamu kenapa sendirian? Ini tamunya siapa, tho?” Wanita itu terus bertanya dengan logat khas jawanya.

Jelitha sontak berdiri dan menggulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Kula rencang ipun Aby, tante.” (saya temannya Aby, tante)

Jelitha tiba-tiba menjawab menggunakan bahasa Jawa.

“Loh, isoh boso Jowo, tho?” (Loh, bisa bahasa Jawa?)

Wanita itu sedikit kaget dan menerima uluran tangan Jelitha untuk bersalaman.

“Saget, tante. Kulo tiyang Jowo.” (Bisa, tante. Saya orang Jawa)

“Yaampun, Cah Ayu iki wong Jowo, tho.” (Yaampun, anak cantik ini orang Jawa, tho)

“Aku Ratih, Ibunya Aby. Jenengmu sopo, nduk?” (Namamu siapa, nak?)

Kulo Jelitha, tante.” (Saya Jelitha, tante)

“Namamu cantik sekali seperti wajahmu, nduk.” Ucap Ibu Aby sambil menggenggam tangan milik Jelitha.

“Terus ini mana si Aby? Kamu kenapa sendirian disini?”

“Aby baru mandi, tante. Jadi aku diminta tunggu disini dulu.” Jawab Jelitha dengan sopan.

“Kamu kenapa cantik banget, Cah Ayu.” Ibu Aby menggenggam semakin erat tangan mereka sambil tidak henti-hentinya menatap wajah Jelitha.

Jelitha hanya tertawa sebagai balasan. Jujur ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Aby enggak pernah bawa temen perempuannya ke rumah.”

“Kamu ini yang pertama kali di bawa ke rumah sama dia. Kalian pacaran ya?”

Apa-apaan? Pacaran? Pacaran dengan Aby? Jelitha saja baru mengenal Aby dalam beberapa minggu, bagaimana bisa berpacaran dengannya?

Mboten, tante. Aku teman barunya Aby. Baru kenalan kemarin waktu ikut volunteer bareng.” Jelitha berusaha menutupi rasa kagetnya.

“Oh, tante kira pacarnya si Aby.” Ujarnya sembari tertawa.

“Kenapa tante enggak pernah lihat kamu sebelumnya? Kapan ikut volunteer, nduk?”

“Baru ikut yang batch terakhir ini, tante. Tante memang pernah ikut kegiatannya juga?”

“Oh, pantesan masih baru, tho. Lho, acara volunteer iki kan di bawah yayasannya tante. Jadi, tante kadang suka tahu siapa aja temennya Aby yang ikut.”

Sebentar. Apa barusan? Yayasan milik ibu Aby?

“Yayasan apa ya tante? Setauku ini under yayasan milik Abraham Group, ya?” Jelitha bertanya dengan sedikit bingung.

“Iya, nduk. Kan Abraham Group punya ayahnya Aby.”

Oh Tuhan…

Jelitha benar-benar lemas karena mengetahui fakta yang barusan ia dengar.

Abraham Group.

Siapa yang tidak tahu perusahaan ini? Salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, yang merupakan penghasil produk-produk rumah tangga, alat kebersihan, dan pemeliharaan kesehatan. Pasti kalian selalu melihat produk bikinannya di minimarket mau pun supermarket.

Jelitha yakin ia tidak salah dengar.

Setau Jelitha, pemilik dari Abraham Group sudah wafat ketika karena terkena wabah Covid-19 kala itu. Oh, mungkin Ayah Aby adalah penerusnya?

Jelitha benar-benar tidak habis fikir dengan banyaknya fakta yang ia terima hari ini. Hidup ini penuh akan plot twist.

“Kamu asli orang mana, nduk?” Pertanyaan Ibu aby membuyarkan lamunan Jelitha.

“Aslinya orang Solo, tante.”

“Eh, sama kayak tante. Tante juga asli dari Solo. Yaampun, pantesan bahasa jawamu alus tenan.” Ibu Aby menjadi excited setelah mendengar jawaban dari Jelitha.

“Tante di daerah mana tinggalnya?”

“Dulu rumah tante di daerah Laweyan. Eyangnya Aby itu juragan batik, dulu rumah tante itu ya di belakang buat tempat celup batik. Kalau rumahmu dimana, nduk?”

“Aku di daerah Purwosari, tante. Tante udah lama tinggal di Jakarta?”

“Yaampun, deket rumah kita, lho. Tante itu pindah ke Jakarta karena ikut sama suami setelah menikah.” Ucapnya sembari memberikan secangkir teh ke meja di depanku.

“Tapi, dulu awal-awal menikah sama keluarga sempat tinggal di Solo sebentar.”

“Ayo, ini tehnya di minum dulu.”

“Eh, iya. Matur suwun, tante.”

Jelitha segera meminum teh yang sudah di sajikan.

Beneran orang Solo.

Itulah yang Jelitha pikirkan ketika menikmati teh ini. Teh tubruk khas Kota Solo, yang dapat Jelitha pastikan menggunakan tiga atau empat jenis racikan teh tubruk. Sehingga bisa menghasilkan rasa khas teh Solo yang terkenal, yaitu ginastel — legi, panas, kentel (manis, panas, kental).

“Ibu di rumah?”

Suara Aby menginterupsi percakapan Jelitha dan ibunya.

“Aksa! Kamu itu ada tamu kenapa di tinggalin sendirian?” Ibu Aby langsung mencecar Aby dengan pertanyaan, ketika melihat kehadiran sang anak.

“Kamu kenapa enggak bilang ke ibu, kalau mau bawa temen perempuan ke rumah? Ibu kan bisa persiapan dulu.”

“Ibu, aku cuman mampir sebentar buat mandi. Habis ini kita mau langsung berangkat volunteer.” Jawab Aby sekenanya.

“Lain kali kamu cerita dulu ya, Sa”

“Iyaa, bu. Udah ya mau berangkat dulu kita. Nanti keburu terlambat.”

“Yaudah, hati-hati kalian ya. Jelitha, ayo kapan-kapan main lagi kesini. Atau mau main bareng sama, tante?”

“Boleh, tante. Matur suwun sanget tante. Maaf, jadi ngerepotin.” Jawab Jelitha sambil bersalaman untuk pamit.

Aby segera ikut berpamitan dan mencium tangan sang Ibu.

Melihat itu, entah mengapa membuat hati Jelitha menjadi hangat.

Aby.

Orang ini memang penuh akan teka-teki.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

thedeepinside
thedeepinside

No responses yet

Write a response