Celotehan Tribune dan Bakso Pak John
“Kamu sering kesini, Tha?” Aby berjalan mengikuti Jelitha menuju tribune untuk mereka duduk.
“Iya! Kalau habis jogging malem biasanya aku mampir kesini.” Jelitha menoleh sembari memastikan Aby berada di belakangnya.
“Nih, beli bakso terus makan di tribune sambil lihat orang main softball. Kalau enggak, biasanya aku duduk aja sambil ngelamunin disini.” Ucapnya sembari mengangkat semangkuk bakso yang ia bawa di tangannya.
“Ini lumayan ramai juga ya. Aku baru tau pada suka duduk-duduk disini.”
Di sini lah mereka sekarang, duduk berdua di tribune lapangan softball bersama semangkuk bakso di genggaman mereka.
“Aby, ini udah lama tau. Sekarang ini malah makin ramai, gara-gara banyak yang share di TikTok sama social media. Kamu kok bisa enggak tau, sih?” Jelitha sedikit heran dengan lelaki yang duduk di sebelahnya ini.
“Hahahahaha ya maaf, aku enggak chronically online terus.”
“Yaudah, cepet cobain baksonya, deh!” Jelitha bersemangat ingin mengetahui apa komentar Aby tentang bakso kesukaanya ini.
“Kamu semangat banget, emang seenak itu, Tha?” Aby fokus mengaduk sambal dan kecap di baksonya.
“Menurutku enak, kok. Cuman ini tipenya emang bakso malang gitu, bukan bakso solo.”
“Kamu enggak picky eater, kan?!” Tiba-tiba jelitha menjadi panik sendiri.
Aby tertawa mendengar pertanyaan Jelitha, “Hahahaha enggak, aku semua makanan suka.”
“Aku coba ya, tha.” Aby menyuap sesendok bakso rekomendasi Jelitha.
“Gimana? Approved by Abyaksa enggak, nih?” Jelitha penasaran menanti jawaban dari Aby.
Bukannya menjawab pertanyaan Jelitha. Aby masih diam fokus mengunyah, ekspresi wajahnya pun terlihat datar.
“Eh, enggak enak ya? Maaf ya Aby. Udah enggak usah di paksa makan kalau enggak suka.” Jelitha menjadi panik sendiri, karena reaksi yang diberikan Aby tidak sesuai ekspetasinya.
“Enak, kok.” Aby menjawab sambil menggigit baksonya lagi.
“Seriusan? Enggak papa kalau kamu enggak suka. Kita bisa cari makanan lain buat kamu.” Jelitha memastikan sekali lagi.
“Hahahaha. Enak seriusan, Tha. Kenapa kamu jadi panik gitu, deh?” Tegur Aby.
“Ih, kamu mukanya tadi enggak meyakinkan gitu. Aku kira apa enggak enak. Aku kan jadi merasa bersalah, kalau rekomendasiku gagal.” Ujar Jelitha sebal dengan bibirnya yang sudah sedikit manyun ke bawah.
“Hahahahaha. Ini approved baksonya. Aku suka kuahnya berasa banget. Buat ukuran segini ini enak, kok.” Tegas Aby meyakinkan Jelitha.
“Iya, kan! Hihihihi bener kan enak.” Jelitha senang mendengar jawaban dari Aby. Akhirnya ia bisa mulai memakan baksonya dengan tenang.
“Aby, tumben kamu main tenis malem gini?”
“Iya, tadi temenku ngajakin main disini. Udah lama nggak ketemu juga sama dia, jadi yaudah sekalian aja.”
“Kamu inget ya kalau aku main tenis biasanya pagi?” Lanjut Aby, setelah tadi memakan pangsitnya.
“Iya, waktu volunteer kamu tiap pagi pasti main tenis dulu soalnya.”
“Kalau kamu selalu jogging di GBK, Tha?”
“Sering, sih. Kalau lagi jogging malem pasti di GBK habis pulang kerja. Kalau mau jogging pagi kadang disini atau di sekitar apartemen aja.”
Aby mengangguk sebagai jawaban. Selain memakan bakso, fokus mereka sekarang berada di lapangan bawah, yang sedang ada pertandingan softball.
Tiba-tiba Jelitha memekik gemas karena melihat pemain softball yang gagal mencetak skor.
“Aduh, padahal itu tinggal lari dikit lagi.” Gerutu Jelitha sedikit kesal.
Aby sedari tadi melihat aksi memekik Jelitha. “Kamu tau cara main softball, Tha?”
“Enggak, sih. Aku belum pernah coba main. Tapi karena sering nonton jadi agak tau dikit-dikit lah.” Jelitha terkekeh setelahnya.
Aby meletakkan mangkuk baksonya yang sudah kosong di kursi sebelahnya. Sekarang atensinya tertuju kepada Jelitha.
“Biasa kalau ngelamun disini mikirin apa?”
“Hmmm apa ya? Banyak sih, bisa apa aja sebenernya.” Jelitha berfikir sebentar.
“Kalau seumuran kita suka mikirin masalah hidup enggak, sih?” Lanjut Jelitha sambil tertawa.
“Udah umur-umur quarter life crisis ya?” Sahut Aby yang juga ikut tertawa mendengar penuturan Jelitha.
“Emang kamu ngerasain quarter life crisis, By?” Ejek Jelitha sembari melirik Aby di sampingnya,
“Iya, pasti pernah lah.”
“Eh, kamu itu kuliah dimana dulu? Kita kayaknya enggak pernah bahas kuliah.”
Jelitha teringat mereka belum pernah membahas tentang hal ini sebelumnya. Masih banyak hal yang belum mereka sama-sama tahu.
“Aku kuliah di Universitas Indonesia, tha.”
“Oh, kelas KKI yaa?”
“Enggak, aku ambil kelas reguler.”
“Aku kira kamu kuliah di luar negeri sama kayak Niko.”
“Enggak, aku full kuliah di Indonesia aja.” Aby menggelengkan kepalanya setelahnya.
“Kenapa? Kamu enggak mau kayak Mbak Arrum? Atau enggak boleh ya sama ibu pergi jauh-jauh?” Tanya Jelitha semakin penasaran.
“Kalau pengen sebenernya ya mau banget. Cuman emang pada akhirnya, aku sendiri yang mutusin buat stay di Indonesia aja.”
“Boleh tahu enggak alasannya?” Jelitha meminta izin terlebih dahulu. Ia tidak ingin membuat Aby merasa tidak nyaman, apalagi ini mengenai masalah personalnya.
“Aku mau bantuin Ayah. Dari lulus SMA, aku udah planning mau secepatnya terjun langsung buat belajar bantu ayah di kantor.” Aby meneguk minuman isotonik yang tadi ia bawa.
“Jadi biar bisa maksimal belajarnya, aku mutusin buat kuliah di Indonesia aja.”
“Ini enggak ada paksaan dari keluargamu kan, By?” Tanya Jelitha ingin memastikan.
“Hahahahha enggak, Tha. Keluargaku bukan yang tipe kayak gitu. Emang aku yang mau dari dulu.”
“Kamu enggak diminta buat nerusin perusahaan?”
“Ayah sama ibu enggak pernah maksa atau nuntut aku apapun. Mereka bahkan dulu suka ngasih opsi profesi lain buat aku tekuni. Tapi memang aku ngerasa punya tanggung jawab buat bisa bantu dan nerusin usaha Ayah.” Jelas Aby.
“Tha, kamu tahu enggak?”
“Kenapa, By?” Badan Jelitha sekarang sudah ia bawa menghadap Aby.
“Eyang udah susah payah buat bikin bisnis ini, lalu ayah sampai sekarang masih terus kerja buat bisa kembangin dan mertahanin semuanya. Udah ada banyak SDM yang membantu bekerja di perusahaan ini.” Ada sedikit jeda yang Aby berikan.
“Aku jadi merasa punya tanggung jawab atas mereka yang udah mau bantu perusahaan ini, aku bakal usahain agar semuanya bisa berjalan lancar dan bisa memenuhi hak-hak mereka. Bukannya aku mau negatif thinking atau gimana, cuman kalau misal besok ayah udah enggak ada dan bisnis ini di pegang orang lain, aku enggak bisa percaya gitu aja. Memang nggak ada jaminan pasti, mau aku atau orang lain yang pegang bisnis ini, bisa berhasil atau nggak. Tapi setidaknya aku tahu kalau aku bisa bekerja semaksimal mungkin.”
“Karena ada banyak jiwa yang menitipkan rezeki mereka lewat kita. Makanya aku merasa bertanggung jawab atas itu semua, Tha.”
Jelitha diam terpaku mendengar semua penuturan dari lelaki di depannya ini. Aby menjelaskan semuanya dengan tenang, dan bisa Jelitha lihat bahwa Aby sangat serius dengan ucapannya.
“Aby, you’re so kind. Makasih banyak kamu udah sangat merhatiin kehidupan orang-orang di kantormu. Tapi sebelum itu, jangan lupa buat merhatiin dirimu sendiri. Jangan paksain dirimu terlalu keras ya.”
“Iya, Tha. Sekarang aku udah lebih dari cukup. Kalau aku bisa usahain semuanya buat bantu mereka, itu udah bikin diriku ngerasa makin baik.”
“Kamu emang orang baik Aby.” Jelitha tersenyum bangga kepada Aby.
“Makasih, Tha.”
“Kamu sendiri kenapa kuliah fashion?” Aby sekarang balik bertanya kepada gadis di hadapannya.
“Aku agak lupa awalnya gimana, tapi dari kecil aku suka bilang kalau cita-citaku jadi fashion designer. Jujur aneh banget denger anak kecil udah bisa nentuin kayak gitu.” Jelitha tertawa sendiri mendengar kisahnya.
“Karena dari situ, aku jadinya enggak pernah berganti-ganti cita-cita. Jadi yaudah, aku seriusin aja sekalian kuliah ambil jurusan fashion designer.”
“Keren, dari kecil udah bisa nentuin mau jadi apa.”
“HAHAHAHHA. Aku rasa dulu aku asbun aja, deh.”
“Terus kenapa milih kuliah merantau di Jakarta? Disana nggak ada kampus fashion, Tha?”
“Jujur, kalau kampus yang fokus untuk fashion enggak ada. Kalau ada pun kebanyakan itu tempat kursus buat belajar tata busana atau tempat LPK untuk menjahit gitu.”
“Enggak bisa dipungkiri yang ada banyak pilihan kampusnya memang Jakarta. Sama aku sekalian pengen kabur hehehehe.” Tambah jelitha.
“Kabur kenapa, tuh?” Sahut Aby.
“Hahahaha enggak, bercanda aja. Ya aku sekalian pengen belajar mandiri aja merantau disini, biar enggak cuman di zona nyaman terus.”
“Kirain beneran kabur.” Sindir Aby denga nada bercanda.
“Susah nggak Tha jadi anak rantau?”
“Ya awal-awal pasti ada penyesuaian lah. Lumayan ada culture shock juga waktu pindah kesini, By.”
“Apa aja culture shock nya?” Aby penasaran dengan cerita jelitha.
“Apa-apa mahal, Byyy.” Protes Jelitha.
“HAHAHAHA. Iya beda jauh sama solo kalo masalah harga, Tha.”
“Terus juga orang-orangnya mungkin?” Jelitha sedikit ragu dengan jawabannya, terlihat dari ia mengangkat satu alisnya.
“Kenapa emang orang-orang disini?”
“Karena waktu kuliah, aku ketemu banyak temen-temen dari berbagai daerah juga, enggak cuman yang domisili di Jakarta. Jadinya perlu adaptasi sama mereka, cara ngobrol dan sifatnya beda-beda semua.”
“OH! sama fast paced banget kalau di Jakarta. Di Solo lebih santai slow living gitu orang-orangnya.”
“Bener, sih. Aku juga setuju, disini hustle culture nya kenceng banget. Kalau di Solo enak buat leyeh-leyeh.”
“Hahahaha kamu tau leyeh-leyeh juga ya ternyata?” Jelitha terkekeh mendengar suara Aby yang tiba-tiba berubah menjadi aksen medhok.
“Iya tau lah. Ibu suka ngomong leyeh-leyeh. Gini-gini aku dulu enam tahun ya pernah hidup di Solo.” Sanggah Aby tidak terima dengan pertanyaan Jelitha.
“Iya ya, aku lupa tau kamu pernah kecil di Solo.”
“Tapi, kamu nyesel nggak Tha ngerantau jauh dari keluarga?”
“Hmm… enggak, sih. Aku malah bersyukur banget bisa ngerantau, By.”
“Aku itu baru tahu, kalau ternyata bisa dapet akses untuk merantau ke luar kota itu termasuk sebuah privillage. Ternyata banyak juga temenku yang enggak dapet akses itu atau enggak di izinin keluarganya.” Ada sedikit nada sedih yang bisa Aby dengar dari ucapan Jelitha.
“Selama ini, aku selalu merasa ini hal yang biasa aja. Mungkin karena di keluargaku dari dulu sering berpergian ke luar kota ya, jadi rasanya bukan suatu hal yang spesial lagi.” Jelas Jelitha.
“Iya, Tha. Kadang juga ada orang yang memang nggak mau merantau atau lebih nyaman di tempatnya sekarang.”
“Iya. Aku belajar dan jadi lihat banyak hal karena merantau ini. Aku merasa ini salah satu keputusan terbaik yang pernah aku bikin, sih.” Jelitha berkata yakin dan tertawa setelahnya.
“Terus kamu di Jakarta udah kemana aja, Tha?”
“Aby, aku jarang main anaknya. Gara-gara kuliahku tugasnya banyak banget dan memakan waktu, jadi dulu waktu kuliah jarang explore Jakarta.”
“Tapi pasti kamu pernah pergi, kan?”
“Iya pernah. Palingan juga cuman ikut main sama Giana atau Lily aja. Sebenarnya aku suka pergi main sendiri, tapi paling juga cuman di daerah deket apartemen atau Jakarta Pusat aja.”
“Nah, ini kamu udah lulus kuliah. Kamu coba aja jalan-jalan explore di Jakarta.” Usul Aby.
“Mau banget. Aku sebenrnya udah ada list tempat di Jakarta yang mau di datengin tau.” Jelitha terkekeh.
“Waktu awal tau mau pindah di Jakarta, aku udah bikin list museum atau public places mana aja yang mau aku lihat. Eh, tapi sampai sekarang belum semuanya kesampaian.”
“Kamu suka ke museum enggak, By?”
“Aku suka ke museum. Kebetulan aku juga suka belajar sejarah, jadi aku udah pernah ke beberapa museum yang ada di Jakarta, Tha.”
“Sama! Aku juga suka belajar sejarah. Dulu waktu SMA aku paling semangat kalau pelajaran sejarah.” Balas Jelitha bersemangat.
“Nanti kalau kamu pengen lihat-lihat ke museum, aku temenin juga boleh.”
“Beneran enggak? Nanti kamu sibukkk!” Sindir Jelitha, yang mendapat kekehan dari Aby.
“Bisa lah, nanti tinggal janjian aja kalau mau pergi.”
“Okey kalau gitu. Makasih ya Aby!” Jelitha tersenyum lebar hingga matanya hilang saat ini.
“Hahahaha, sama-sama Jelitha.” Aby sungguh gemas melihat Jelitha sekarang.