Cerita Sabtu Malam

thedeepinside
4 min readMar 28, 2024

Tuhan memberikan kita kenikmatan dan rezeki berlimpah, karena itu berarti Tuhan percaya kepada kita.

Tuhan memberikan itu semua kepada kita, agar kita bisa membagikan rezeki ini kepada orang lain dan menjadi berkah untuk semuanya. Karena apa yang kita miliki, bukan sepenuhnya milik kita dan ini semua hanya merupakan titipan.

Bersyukurlah kita yang mendapatkan kepercayaan ini dari Tuhan. Maka menjadi tugas kita untuk saling membantu dan memberikan hak-hak milik orang lain, yang mungkin memang rezekinya di titipkan melalui perantara kita.

Itu adalah pesan yang selalu disampaikan kepada Arrum dan juga Aby sejak mereka kecil oleh ibu mereka, Ratih Kusumawardhani.

Lahir dan besar di Kota Solo, membuat Ratih tumbuh kental dengan budaya setempat. Ratih hidup berkecukupan, mengingat keluarganya merupakan juragan batik di daerah Laweyan yang cukup terpandang. Sejak kecil ia sudah ikut membantu di pabrik, dan mulai membantu mengelola bisnis ketika beranjak remaja. Ratih sudah di ajarkan untuk hidup bekerja keras sejak kecil, sehingga ia tidak menjadi anak manja, yang mungkin bisa saja terjadi untuk anak-anak lain jika ada di posisinya.

Pertemuan singkatnya dengan Anwar Lukman Abraham ternyata membawanya ke jenjang pernikahan. Bukan karena harta, nama, atau pun jabatan yang membuat Ratih melabuhkan hatinya untuk anak sulung keluarga Abraham itu. Ratih tidak peduli akan semuanya. Tapi setelah kelahiran Arrum, Ratih sadar bahwa itu semua tidak bisa ia acuhkan lagi. Karena semua yang suaminya miliki, pada akhirnya akan melekat ke anak-anak mereka. Serta menjadi tanggung jawab yang harus mereka emban kedepannya.

Ia sadar, kelak anak-anaknya yang lebih beruntung, akan lahir dan tumbuh dengan kekayaan. Tapi, alih-alih lahir dan langsung dibesarkan dengan bergelimang harta. Ratih memutuskan untuk tinggal sederhana di Kota Solo, sejak kelahiran Arrum hingga Aby tumbuh menginjak usia 6 tahun.

Bukan tanpa alasan ia melakukan ini semua. Ratih ingin memastikan anak-anaknya bisa menikmati kehidupan normal, sebelum nantinya mereka tahu seperti apa wajah asli dunia ini. Ratih ingin mereka bisa mempelajari budaya, bermain, berosialisasi, dan yang paling penting mengenal diri mereka sendiri.

It is important to remember your roots.

Tidak ada orang tua yang ingin anaknya mengambil langkah yang salah di kemudian hari. Maka dari itu, Ratih membekali anak-anaknya dengan nilai-nilai kehidupan, sebelum mereka sepenuhnya kembali ke kota metropolitan.

Disini lah keluarga Abraham sekarang. Berkumpul di halaman belakang rumah mereka, untuk melakukan rutinitas keluarga mereka setiap malam minggu, makan malam bersama. Walaupun semua sudah memiliki kesibukannya sendiri-sendiri, ayah memastikan kepada semuanya untuk memberikan waktu luang untuk keluarga.

Hari Sabtu, berarti saatnya ayah menikmati waktu luangnya dengan memancing. Ikan hasil pancingan ayah hari ini, menjadi bintang utama untuk makan malam mereka. Aby dan Ashraf tengah sibuk membantu ayah untuk memindahkan ikan yang sudah matang menuju meja makan.

Ayah memimpin doa, sebelum mereka memulai sesi makan malam. Semua tampak menikmati ikan bakar buatan ayah. Sudah lama sekali ayah tidak memasak menu kesukaan Arrum dan Aby ini.

“Tadi acaranya gimana, bu?” Ayah memulai percakapan dengan mengajukan pertanyaanya ke ibu. “Ibu seneng banget, tadi semuanya lancar. Hampir semua undangannya bisa datang tadi, yah.”

“Bagus lah, bersyukur ya bu,” ujar ayah mengingatkan ibu. “Selalu kalau itu, ayah juga jangan lupa bersyukur hari ini hasil pancingannya banyak.” Ibu serta ayah tertawa setelahnya.

“Jadi, ayah ketinggalan apa saja ini? Tadi katanya kamu ketemu siapa disana, Rum?” Ayah melihat ke arah Arrum untuk memastikan.

Yang ditanya terkekeh kecil, “Jadi, tadi itu ada temennya Aksa namanya Jelitha. Dia kemarin yang handle aku waktu fitting baju di tempat Bu Wanda. Ternyata dia itu temen perempuan Aksa, yang kemarin ibu ceritaiin ke aku.”

“Maksudnya gimana? Ayah agak bingung.”

“Waktu ayah pergi ke NTT, Aksa kerumah ngajak temen perempuannya, yah.” Ibu menjelaskan dengan sedikit melirik usil ke arah Aby.

“Oh, iya? Ibu enggak cerita ke ayah kemarin.”

“Iya lupa ibu. Anaknya main ke rumah cuman sebentar, mana Aksa itu enggak kabar-kabar ke ibu mau bawa temen perempuan.”

“Ibu, kemarin kan cuman mampir sebentar aja.” Akhirnya yang menjadi topik pembicaraan mengeluarkan suaranya.

“Besok lagi kabarin dulu ya, biar ibu bisa rapih-rapih.” Aby hanya berdeham dan mengangguk sebagai jawaban.

“Ayah, itu kan tadi Jelitha ibu undang ke acara. Tadi baru ketahuan, kalau ternyata Jelitha ini kerja di butiknya Wanda, yang bantuin Arrum kemarin buat fitting.”

“Eh, ternyata kebetulan banget dia udah kenal duluan sama Arrum.” Tambah ibu menjelaskan.

“Wah, lucu ya bu. Bisa kebetulan begitu.” Ayah tertawa setelah mendengarkan penjelasan dari ibu.

“Gimana, Sa? Pacar kamu itu?” Pertanyaan tetiba dari ayah membuat Aby tersedak karena kaget.

“Enggak, ayah. Kita temenan aja.” Aby segera meneguk minumannya hingga habis.

“Tapi, kamu mau serius sama dia?” Ayah menatap tepat ke arah Aby dengan serius.

Sekarang semua mata menatap ke arah Aby. Hei! harusnya malam ini mereka bersenang-senang dan melepaskan kerinduan satu sama lain. Tapi, kenapa suasana malam ini berubah seperti memojokkan Aby?

Aby masih bingung dan ragu untuk menjawab. Ayah selalu bilang, lelaki itu yang di pegang adalah omongannya dan ayah tidak suka jika anaknya berbohong.

Cukup lama Aby berpikir. Ia kemudian melihat ke arah ibu, “Ibu, tolong doain ya aku mau serius sama Jelitha.”

Sudah cukup ia mengelak dan membohongi perasaannya. Kali ini, ia harus dengarkan isi hatinya dan berkata secara mantap untuk meminta doa dari ibu.

Senyum terukir di wajah ibu setelah mendengarkan permintaan dari si bungsu. “Kalau Aksa memang serius, pasti ibu akan doakan yang terbaik buat Aksa.”

“Ingat ya, kamu sudah berucap jadi kamu harus selalu tanggung jawab dengan itu.” Ayah mengingatkan pada Aby. “Iya, yah.”

Aby merasa lega, bahwa keluarganya memberikan respon yang baik dan mendukungnya. Tanpa Aby tahu, anggota keluarganya ikut bangga melihatnya sekarang. Ternyata bungsu mereka sudah tumbuh dewasa, sudah tahu jelas apa maunya dan berani untuk memperjuangkannya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

thedeepinside
thedeepinside

No responses yet

Write a response