Gagasan Jelitha

thedeepinside
6 min readMay 15, 2024

--

“Kamu ternyata sibuk banget.” Ucapan sekilas Jelitha mampu mengalihkan pandangan Aby yang semula fokus pada layar laptopnya.

“Biasa aja. Kenapa tiba-tiba gitu?” Aby terekeh dan kembali memfokuskan dirinya pada pekerjaannya.

“Aku ngerasa kerjaanku udah padet banget, tapi ternyata enggak ada apa-apanya dibanding kamu.”

“Hahahaha nggak juga. I’m just doing my responsibility, Tha.” Jelitha merespon dengan tersenyum. Jelitha sudah mengira bahwa Aby akan menjawabanya seperti itu.

Beberapa waktu terakhir membuat Jelitha semakin dekat dengan Aby. Jelitha kini mengerti, Aby akan selalu mendahulukan tanggung jawabnya di atas segala hal. Pekerjaan bagi Aby bukanlah sebuah tuntutan, melainkan anugrah. Jika Aby bisa terus bekerja demi kepentingan banyak orang, sudah pasti akan dia lakukan.

“Kamu udah selesai, Tha?”

“Iya, udah. Tadi cuman rapihin design aja.”

“Tha, aku mau nanya.” Sekarang Aby menaruh atensinya ke layar handphone memandangi Jelitha.

“Kenapa, By?”

“Aku butuh pendapatmu terkait program baru yang di NTT.”

“Boleh, semoga aku bisa bantu ya. Kayaknya kamu juga belum pernah cerita detailnya ke aku.”

“Iya. Jadi buat program ini, kita ada kerjasama dengan Kemenkes dan UNICEF. Fokusnya mau membangun fasilitas sanitasi dan air bersih. Buat sekarang kita mau coba untuk di daerah NTT dulu, tapi kedepannya bakal diperluas lagi di wilayah Indonesia Timur.”

“Bagus itu programnya, By. Terus kurang apa lagi?”

“Dengan dana yang udah ada. Aku rasa ini programnya masih bisa dimaksimalkan lagi. Cuman aku masih agak buntu disitu, harus tambahin apa lagi. Aku mau programnya bisa tepat sasaran di masyarakat.”

“Hmm.. Coba ya, aku sambil searching baca-baca.” Jelitha mulai membuka browser di laptopnya, dan mencari lebih banyak informasi.

“Iya. Aku menghindari kalau cuman tambahin program buat bagi sembako atau kasih makan aja. Kita usahakan bikin programnya yang bisa berkelanjutan dan kasih dampak significant ke mereka.”

“Kalau dari situasi kehidupan masyarakat disana gimana, By?” Rasa antusias muncul di diri Jelitha setelah mendengarkan penjelasan Aby.

“Kemarin di NTT aku sempat survey ke lima daerah. Memang kalau dari riset, NTT masuk ke provinsi dengan tingkat kelayakan sanitasi rendah. Dan itu emang bener, selama disana aku lihat mereka susah untuk dapat akses air bersih dan banyak yang nggak punya fasilitas sanitasi dasar di rumah mereka. Apalagi aksesnya juga lebih rendah untuk di wilayah pedesaan.”

Ada jeda yang Aby berikan, serta kerutan terlihat jelas di wajah Aby. Ia sedang berfikir serius, mengingat kembali keadaan yang ia jumpai saat berada disana.

“Dari masyarakatnya sendiri, juga masih minim pengetahuan tentang sanitasi. Kemarin aku juga kaget waktu dateng ke sekolah, disana masih banyak toilet untuk murid laki-laki dan perempuannya campur.” Ungkap Aby.

“Iya, ini aku juga baru baca ternyata cuman sekitar 41 persen aja sekolah yang punya fasilitas toilet terpisah dan memadai.” Tambah Jelitha

“Bener, Tha. Makanya setelah kemarin udah lihat situasi disana secara langsung, kita memutuskan memang fokusnya untuk fasilitas kebersihan sanitasi. Harapannya, sekalian bisa menambah pengetahuan mereka dan meningkatkan kualitas hidupnya.”

“Berarti sasarannya untuk program ini, kamu memang mau mencakup secara umum untuk seluruh kalangan masyarakatnya ya?” Tanya Jelitha.

“Betul, Tha. Air bersih dan sanitasi layak kan memang kebutuhan dasar manusia. Jadi kita mau program ini bisa terasa untuk seluruh kalangan masyarakatnya.”

“Aby, ternyata di NTT jumlah penduduk mudanya mendominasi, loh. Dari total 5 juta penduduknya, sekitar 2,5 juta itu merupakan anak-anak dan penduduk muda. Kamu enggak mau bikin program buat anak atau remaja gitu?”

Jelitha bertanya sembari matanya melirik ke arah Aby. Informasi yang ia temukan barusan, rasanya menarik untuk ditinjau lebih lanjut.

“Kalau program yang kaitannya pendidikan udah diluar ranah kita. Karena memang kerja samanya fokus di kesehatan dan kebersihan. Kamu ada ide lain, Tha?”

“Kalau misal, kita bantu remaja perempuan buat meningkatkan akses kebersihan saat mereka menstruasi menurutmu gimana?”

Aby terlihat tertarik dengan ide yang Jelitha tuturkan. Ia merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, serta memajukkan badannya ke arah layar handphone agar bisa mendengarkan lebih jelas.

“Litha, coba tolong kamu jelasin.”

“Dari penjelasanmu dan apa yang aku baca, memang permasalahan utamanya kan tentang akses air bersih dan sanitasi. Tadi waktu tahu kalau toilet di sekolah masih banyak yang campur, aku jadi kepikiran pasti enggak nyaman banget buat remaja perempuan disana kalau mereka lagi menstruasi. Karena waktu lagi menstruasi, kita harus rajin banget jaga kebersihan diri, rutin untuk ganti pembalut sama bebersih area intim. Tapi kalau air bersihnya aja udah enggak ada, lalu toilet campur juga lebih sering kotornya, rasanya pasti enggak nyaman.”

“Ide kamu bagus, Tha. Aku aja enggak kepikiran sampai situ.”

“Ya wajar, kan kamu enggak ngerasain Aby.”

“Aby, tahu enggak? Untuk beberapa orang, bisa beli pembalut termasuk hal yang mewah juga.” Jelitha menambahkan.

Memang benar adanya, bagi orang yang sekedar makan sehari-hari saja sudah sulit. Menyisihkan uang untuk membeli pembalut atau produk kebersihan wanita, pastinya tidak bisa menjadi prioritas mereka.

Di tengah situasi perang, banyak perempuan yang terpaksa mengonsumsi obat penunda menstruasi, karena langkanya produk menstruasi seperti pembalut serta ketiadaan air bersih dan sanitasi yang buruk.

“Jadi, kalau menurut kamu nanti isi program kerjanya gimana?”

“Ini masih bisa sejalan sama program sebelumnya, yang perbaikan fasilitas air bersih dan sanitasi. Karena kalau programnya udah berjalan, bisa membantu untuk yang masalah kebersihan menstruasi.” Aby mendengarkan Jelitha secara seksama.

“Aku rasa, mereka juga masih minim pengetahuan dasar tentang manajemen kebersihan saat menstruasi. Banyak yang enggak tahu apa yang harus dilakukan waktu pertama kali datang bulan. Bingung itu pasti. Tapi, kalau kita sudah ada pembekalan atau di lingkungan ada yang mengajarkan ilmu dasarnya, itu akan membantu banget.”

“Di sebagian masyarakat pun pembahasan ini masih tabu atau kesannya sensitif, kan. Kalau anak-anak pasti mereka ngerasa malu dan gatau harus ngapain, waktu pertama kali datang bulan. Mungkin bisa dimulai dari kamu ngasih awareness tentang pengetahuan dasarnya. Lalu, sambil kita tingkatkan penguatan akses kebersihannya. Biar mereka bisa ningkatin perilaku sehat saat sedang menstruasi.”

Tangan Aby sibuk menulis di atas kertas, berusaha mencatat poin-poin penting yang disampaikan oleh Jelitha.

“Kalau kamu mau, mungkin ini nanti bisa dibuat campaign tersendiri, sih. Jadi, nanti tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup dan peluang bagi remaja perempuan dalam mengakses kesehatan reproduksi.” Jelas Jelitha.

Aby terpukau mendengarkan seluruh isi dari gagasan gadis cantik dihadapannya. Dari awal, Aby tidak memiliki ekspetasi apapun. Karena permasalahan dari pekerjaannya ini termasuk hal yang susah, ia pun juga kesulitan mencari solusinya. Tapi secara tak terduga, Jelitha mampu memberikannya ide yang ciamik, serta penjelasan lengkap terkait hal itu.

“Kamu kenapa bisa kepikiran hal ini?” Aby masih terheran-heran.

Jelitha menarik nafas dalam, “Aku cuman bayangin kalau ada di posisi mereka aja, dan itu enggak enak. Aku aja yang syukur masih berkecukupan, kalau tiba-tiba datang bulan enggak ada stock pembalut pasti udah kelabakan sendiri. Apalagi mereka, kan?”

Lagi-lagi jawaban yang Jelitha berikan, membuat Aby terheran. Aby semakin penasaran apa sebenarnya yang ada dibalik kepala sang gadis. Ia bisa memiliki pemikiran hingga jauh kesana.

“Aku suka sama gagasan kamu, Tha. Ini juga bisa berguna banget disana, aku juga merasa awareness mereka akan hal ini kurang.” Senyum bangga terlihat di wajah Aby.

“Aku berharap ide ini bisa kalian realisasikan ya, By. Pasti remaja perempuan disana akan terbantu sekali.”

“Coba aku ajuin dulu ya ide dari kamu ini. Kalau aku rasa pasti di terima, mengingat ini juga masih berkesinambungan sama program lainnya.”

“Litha, makasih banyak ya. Kamu udah mau bantu membuka pikiranku agar bisa melihat lebih luas lagi.” Sungguh, Aby sangat serius ketika mengatakan ini. Rasanya seperti ia diingatkan oleh Tuhan, bahwa masih banyak hal yang belum ia lihat di dunia. Bahwa ia harus selalu belajar lagi.

“Sama-sama, By. Tapi ini juga masih ide seadanya aja, sih. Aku juga belum tau detailnya gimana dan apa bisa diaplikasikan disana.” Ada sedikit keraguan dari suara Jelitha.

“Nggak papa, Tha. Nanti untuk lebih lanjutnya, dari tim kita bisa lakuin riset lebih dalam disana.”

“Hihihihi, oke. Semoga beneran bisa membantu kamu ya.”

Tawa renyah Jelitha terdengar memenuhi kamar Aby, sangat menggemaskan.

“Kamu tau nggak sih, kalo knowledge mu itu banyak banget?” Aby bertanya dengan tetap menatap lekat Jelitha.

I know. Aku kan pinter.” Ucap Jelitha sembari tersenyum usil. Disusul suara tawanya yang geli mendengar jawabannya sendiri.

Aby tidak mengira akan mendapat jawaban seperti itu dari Jelitha. Ia ikut tertawa hingga perutnya terasa sakit.

“Emang enggak salah aku suka sama cewek pinter.” Balas Aby, tidak ingin kalah dari Jelitha.

“Ihhh… apaan sih kamu!” Jelitha spontan menutup wajah dengan telapak tangannya.

Bisa Aby lihat, sang gadis sudah tersipu malu dan salah tingkah dibuatnya. Rasanya menyenangkan menggoda Jelitha. Aby bisa melakukan ini seharian penuh.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

thedeepinside
thedeepinside

No responses yet

Write a response