Jelitha

thedeepinside
4 min readMar 3, 2024

Masih teringat dengan jelas di kepalanya. Kejadian siang tadi, ketika ia bertemu dengan gadis itu. Ayolah, tentu saja ia tidak bisa melupakannya.

Selama empat minggu bepergian secara nomaden. Tentu saja ia merasa lelah. Kembali ke tempat asalnya, bukan berarti ia bisa langsung beristirahat. Masih ada tanggung jawab yang harus ia emban.

Belum ada satu jam sejak ia tiba di Jakarta. Sudah ia bawa vespa biru pemberian sang kakek, untuk mengantarkannya ke tempat tujuan.

Ia pun tiba, dan dilihatnya tempat ini sudah sepi. Sudah tidak ada anak-anak yang berkeliaran, hanya menyisakan beberapa temannya yang sedang beberes di halaman luar.

Ia berjalan mendekat dan menyapa teman-temannya.

Hal pertama yang ia tanyakan, tentunya adalah kelancaran dari acara hari ini. Sungguh, ia merasa bersalah. Seharusnya serangkaian acara kegiatan sosial ini merupakan tanggung jawabnya. Tetapi, karena ada hal yang lebih mendesak, mau tak mau ia harus meminta tolong temannya untuk menggantikan posisinya.

Ternyata pergi selama empat minggu, tidak memberikan perbedaan apa-apa pada temannya. Mereka masih sama saja, menyebalkan.

Di tengah candaan yang temannya lontarkan, tiba-tiba ada yang menyapa dari dalam kelas.

Oh, ternyata Ilaya. Salah satu temannya juga. Ilaya keluar dan berjalan menuju dirinya. Tetapi Ilaya tidak sendiri.

Eh, tunggu? Siapa itu?

Ia tidak mengenali gadis di samping Ilaya. Tapi, ia yakin pernah melihatnya sebelumnya.

Ia tidak bisa melepaskan tatapannya kepada gadis itu. Hingga suara salah satu temannya menginterupsi, untuk mengajaknya berkenalan dengan sang gadis.

Gadis itu tersenyum hangat sembari mengulurkan tangan kepadanya. Ia sambut tangan tersebut, dengan tetap menatap ke dalam matanya tak terputus.

Ia tak pernah percaya akan adanya “cinta pada pandangan pertama”, tapi rasanya ia akan beri pengecualian untuk yang satu ini.

Mata berwarna coklat, yang terlihat sedikit menyipit karena senyuman lebar yang ia berikan. Kerutan di sekitar pipinya yang juga muncul karena tersenyum. Sungguh sangat mengemaskan.

Tapi, pemenang sesungguhnya adalah senyuman yang terukir di bibir gadis tersebut. Cantik. Hanya itu yang memenuhi pikirannya saat ini.

Fokusnya buyar, ketika salah satu teman lelakinya menyenggol bahunya. Terpaksa harus ia lepaskan genggaman tangannya.

“Halo, aku Jelitha.”

Sungguh, nama yang sangat cocok dengan gadis ini.

“Abyaksa.”

Ada apa dengan dirinya? Mengapa tiba-tiba ia menjadi sangat kaku?

Ia pun tak sadar sudah mengucapkan namanya dengan begitu dingin. Saat ini, dirinya hanya diselimuti oleh rasa gugup dan jantung yang berdebar kencang.

“Okey, Mas Aby.”

Tuhan… sungguh rasanya ia ingin menghilang saat ini juga.

Melihat gadis itu memanggilnya dengan sebutan “Mas Aby” dan senyum cantiknya yang masih terukir sempurna, ini jelas adalah pembunuhan berencana untuknya.

Tolong… jangan panggil ia seperti itu, membuatnya semakin tak terkendali dan hilang fokus.

Yang bisa ia pikirkan sekarang selain cantiknya sang gadis, juga bagaimana caranya agar ia bisa berkenalan lebih jauh lagi.

Tapi jika melihat perilakunya saat ini, ia jamin pasti sang gadis tidak akan sudi berkenalan lebih jauh dengannya.

Ia benar-benar merutuki dirinya habis-habisan. Karena rasa gugup yang tak kunjung usai. Hanya perilaku buruk dan respon dingin yang ia berikan kepada sang gadis. Ia benar-benar mati gaya.

Pupus sudah harapannya.

“Jelitha balik bareng lo, bisakan?”

Ia mengangguk secara spontan, ketika temannya mengajukan pertanyaan itu.

Apa ini? Apa baru saja temannya itu, ingin membantunya untuk berkenalan dengan sang gadis?

Tolong, buatlah ini berhasil.

Sang gadis menolak dan terjadi sedikit perdebatan kecil dengan temannya yang lain.

Tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Akhirnya ia pun bersuara dan mengajukan pertanyaan.

“Emang rumah kamu dimana?”

Ia rasa akan lebih sopan untuk menggunakan kata aku-kamu dalam obrolan mereka. Mengingat sedari tadi, sang gadis menggunakan pilihan kata aku-kamu ketika berbicara dengan lawannya.

“Rumahku di Menteng.”

Ia mengangguk dan berkata, “Oke, satu arah.”

Ia jaga ekpresi wajahnya agar tetap datar. Tidak ingin menunjukkan kegembiraan berlebih yang sebenarnya sedang ia rasakan.

Akhirnya, kali ini ia berhasil. Rasa senang menyelimuti dirinya.

Lalu ia ajak sang gadis menuju tempat parkir.

Oh, tidak. Ini pasti gagal lagi. Tiba-tiba rasa kecewa mengambil alih rasa senang di dirinya.

Ia tersadarkan, bahwa yang ada di depannya adalah motor vespa butut kesayangannya. Bukan mobil mewah dengan AC dingin dan kursi empuk yang nyaman digunakan.

Mana mau gadis itu menaiki motor butut seperti ini?

Melihat dari penampilannya saja, bisa ia pastikan gadis ini tidak pernah menaiki motor. Wajar jika ia khawatir.

Tapi hanya vespa biru ini yang sekarang ada. Mau bagaimana lagi?

Ia beranikan diri untuk bertanya pada sang gadis.

“Kamu naik motor enggak papa?”

Harap-harap cemas ia menunggu jawaban dari sang gadis.

“Enggak papa, kok. Aku suka naik motor.”

Ia sedikit kaget. Tunggu, ini bukan jawabannya yang seperti ia bayangkan.

Dalam hati ia tersenyum.

Sungguh bodoh. Mengapa tadi ia berpikiran seperti itu? Membuat asumsi sepihak hanya berdasarkan penampilan.

“Emang kenapa nanya gitu?”

Sang gadis sedikit penasaran.

“Aku kira kamu enggak bisa kalo naik motor.”

Ia hanya berucap jujur.

Gadis itu tiba-tiba tertawa lepas mendengar jawabannya.

Apakah ia salah berbicara? Kenapa tiba-tiba tertawa? Walaupun tawanya terdengar indah saat ini.

“Enggaklah. Aku tiap hari juga naik motor kalau pergi.”

Oke. Ia harus ingatkan lagi pada dirinya, untuk berhenti membuat asumsi sepihak kepada orang lain.

Karena asumsi yang tidak memiliki dasar yang kuat, memiliki presentase salah yang lebih besar.

Contohnya, seperti saat ini. Ia jelas-jelas sudah salah menilai gadis itu.

Atau mungkin, memang gadis ini berbeda?

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

thedeepinside
thedeepinside

No responses yet

Write a response