Kindness Goes Wrong

thedeepinside
3 min readJun 10, 2024

Ia kira setahun ini sudah cukup untuknya berhasil keluar dari kegelapan. Mencari-cari penerangan seorang diri di palung gelap sangatlah susah. Tapi ia memilih untuk begitu, sendirian. Tidak ingin mengajak orang lain untuk masuk kedalam palungnya dan berakhir harus kena imbas akan gelapnya. Menolak meminta tolong selama satu tahun dan mendorong semuanya agar menjauh, mahir Jelitha lakukan.

Dalam hidup Jelitha jarang ada pertengkaran atau perdebatan. Hidupnya selalu dipenuhi dengan kebaikan dari dirinya sendiri atau orang disekitarnya. Sejak kecil, mama akan selalu mengingatkanya dan Mas Abhi untuk menjadi orang baik.

Urip Iku Urup

“Hidup itu menyala.” Bagaikan lilin yang menyala menerangi kegelapan, hendaknya dalam hidup kita dapat memberi manfaat bagi orang disekitar. Kita lahir di dunia bukan untuk berdiri sendiri, tetapi kita lahir untuk saling memberi, menolong, membantu tanpa pamrih, dan menyebar kebaikan kepada sesama.

Nilai yang di ajarkan keluarganya sejak kecil, ternyata malah membawa petaka dan kebencian kepadanya sekarang?

Sekarang beri tahu Jelitha mengapa ia salah? Mengapa ia di hakimi karena menjadi baik? Apa menjadi baik itu salah?

Lalu apa yang sekarang dianggap benar?

Ruangan yang biasanya terang dan selalu dipenuhi semerbak harum bunga melati dari lilin, sekarang hanya ada kegelapan. Tidak ada lampu yang dinyalakan, hanya cahaya dari bangunan-bangunan tinggi di luar jendela yang menjadi penerangan satu-satunya.

Alunan lagu slow R&B yang biasanya terdengar, sekarang digantikan suara tangisan yang mengisi seluruh ruangan. Barang-barang yang selalu tertata rapi di atas meja, kini sudah berserakan tak karuan di lantai.

Dan Jelitha masih berada di posisi yang sama sejak tadi pagi. Duduk menangis bersandar pada meja di dapurnya.

Kondisi Jelitha juga tidak kalah kacau. Rambutnya berantakan karena ia tarik setiap kali sedang menangis. Sembab terlihat jelas di kedua matanya. Bibirnya kering pucat, entah kapan terakhir kali ia meminum air putih. Jelas tidak terpikirkan olehnya.

Semua peristiwa buruk tahun lalu memaksa masuk kembali keingatan Jelitha. Memenuhi kepalanya untuk mengingat semua perbuatan dan kata-kata menyakitkan yang ia terima. Jelitha tak bisa menolak. Tanpa izin darinya, ia jadi dipaksa untuk menyelami semua ingatan itu lebih dalam.

Jelitha itu rapuh. Jelitha hanya punya dirinya sendiri, dan sekarang ia benci dirinya sendiri.

Ia sangat menghargai pertemanan, baginya pertemanan itu bagian dari hidupnya. Ia selalu mengusahakan untuk menjadi baik kepada semua orang, walaupun itu berarti ia jadi sering tidak berperilaku baik pada dirinya sendiri.

Permasalahannya dengan Ashley berhasil menampar keras Jelitha. Ia takut, sangat takut untuk kembali berteman atau berinteraksi dengan orang lain. Sudah cukup dengan Ashley, ia tidak mau lagi menyakiti orang lain.

Semua masih teringat jelas, bagaimana selama berminggu-minggu ia tidak mendapat penjelasan dan kepastian. Mendapatkan silent treatment dan dijauhi secara tiba-tiba. Membuatnya bertanya-tanya apa salahnya? apa yang telah dia lakukan? berhasil dibuat gila akan pikirannya sendiri. Disudahi dengan pesan panjang yang berisi kebencian dan kesalapahaman, lalu tak diberi kesempatan untuk menjelaskan.

Rasanya seluruh dunia tidak memihak kepadanya. Semua yang terjadi adalah salahnya. Walau sudah berusaha sebisa mungkin untuk berperilaku baik, ternyata masih tidak cukup untuk memuaskan semuanya. Dirinya seakan tidak ada harganya, yang langsung dibuang jika sudah tak berguna.

Hatinya masih selalu sakit jika mengingat semuanya.

Ia tidak pernah berhasil keluar dari palung gelapnya. Ia masih ada di dalam sana. Selama ini ia hanya berpura-pura menganggap palung yang ia tinggali tidak nyata. Berusaha menyangkal semuanya. Tidak memiliki cukup keberanian untuk menghadapi situasi di hadapannya.

Isakan tangis Jelitha terhenti, ketika merasakan ada yang memeluknya. Giana dan Lily membawa Jelitha kedalam hangatnya dekapan mereka. Kata-kata penenang mereka ucapkan dengan harapan agar Jelitha tidak merasa sendirian lagi.

“Sayang, kita disini. It’s okay, ada kita disini.”

“Jangan nangis sendirian, Tha. Ayo sini ajak kita juga.”

“Semuanya bakal baik-baik aja. Tenang ya, Tha.”

“Litha kamu punya kita. Jangan lupa kamu punya kita.”

Isakan tangis Jelitha semakin kencang. Ia eratkan pelukannya kepada kedua sahabatnya. Ia masih memiliki mereka. Benar, masih ada Giana dan Lily yang selalu ada untuknya.

Masih akan ada yang menuntunnya untuk keluar dari palung gelap ini. Ia tidak sendirian. Tidak pernah sendirian.

Jelitha kerap lupa akan atensi sahabatnya yang lain, karena terlalu fokus pada rasa sakitnya seorang.

Jelitha, ingat! Masih banyak orang baik di sekitarmu!

Jelitha, kamu adalah orang baik. Dan pasti akan selalu dikelilingi orang-orang baik juga.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

thedeepinside
thedeepinside

No responses yet

Write a response