Perayaan dan Babak Baru

Jelas malam ini merupakan sebuah perayaan untuk mereka. Setelah empat tahun lamanya mengusahakan untuk menuntaskan kuliah. Hari ini mereka telah berhasil menuntaskan tanggung jawabnya. Serta membukakan pintu untuk babak baru.
Mereka merayakannya dengan berkumpul di apartemen milik Jelitha. Tempat yang menjadi saksi, bagaimana putri daerah itu merantau jauh seorang diri ke Ibu Kota, untuk meraih yang katanya adalah “mimpinya”. Tempat dimana ia habiskan waktunya untuk berkutat dengan tugas, tangis, dan tawa.
Formasi di meja makan kali ini, ada Jelitha, Lily, dan Giana yang merayakan kelulusan mereka, serta Niko — Giana’s highschool sweetheart yang turut serta karena ajakan Jelitha sore tadi. Tidak hanya menikmati santapan yang telah disiapkan oleh Jelitha. Kegiatan di meja makan juga diisi oleh obrolan-obrolan penuh nostalgia.
“Sumpah ya, dulu gue kira ga bakal bisa lulus,” ucap Giana, sembari memasukkan sesendok tiramisu ke mulutnya.
“Iya, mana gue retake kelas drawing udah tiga kali gara-gara ga kuat mental. Untung aja bisa kekejar lulus bareng kalian,” senyum senang terukir di wajah Lily setelahnya.
“Seng, kamu kebanyakan main terus. Makanya hampir enggak lulus, itu tugas suka kamu anggurin semua, sih!” kata Niko yang pada akhirnya mendapat pukulan kecil dari Giana.
“Yaampun seng, aku kan kerja ada casting sama photoshoot. Bukan main keluyuran, lho. Kamu gimana, sih?”
“Time management kamu tuh yang kurang bagus. Untung di akhir semester kemarin kamu sadar, makanya bisa keburu lulus batch ini bareng mereka.”
“Tapi, kalau dipikir-pikir sidang skripsi gue kemarin juga zonk tau aslinya. Untung kebantu gara-gara gue bisa improvisasi waktu presentasi.”
“Emang kunci sukses sidang skripsi itu, cuman percaya diri dan improvisasi,” ujar Giana sembari tertawa.
“Kayaknya yang kuliahnya mulus tanpa halangan cuman Jelitha ya?” tanya Niko. Jelitha yang berada di depan Niko tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Enggak juga. Aku juga hampir mau mati waktu kuliah kemarin,” jawab Jelitha sambil terkekeh.
“Yah, kalau itu juga semua mahasiswa kayaknya ngerasain hal yang sama” sambung Niko dengan tertawa. Tapi tidak dengan Giana dan Lily. Sebab mereka tau apa maksud lain dari ucapan Jelitha.
“Terus habis ini kalian mau ngapain?” tanya Niko sembari menatap tiga sejoli itu.
“Gue mau fokusin handle clothing brand gue sepenuhnya. Kemarin waktu kuliahkan masih belum bisa fokus” ucap Lily.
“Lanjutin modeling aja, deh. Sekarang, Mami juga udah support gue sepenuhnya. Udah ga sedih lagi kalau gue ga lanjutin bisnisnya” jawab Giana.
Selanjutnya atensi Niko beralih sepenuhnya kepada Jelitha. Sedari tadi perempuan itu hanya diam dan menyimak obrolan yang lain.
“Masih sama Bu Wanda, Ko. Syukur selesai internship kemarin, aku udah langsung di kontrak sama Ibu” jawab Jelitha. “Tapi, sekarang baru break dulu. Si Ibu baru liburan keliling Asia” tambah Jelitha.
“Tapi waktunya bisa pas banget. Waktu Litha mau selesai internship, assistant designer Bu Wanda resign. Jadi bisa langsung masuk kerja disana.”
“Gila ya, tapi pressure disana ga main-main. Udah kerjaannya banyak ditambah masih ngurusin Bu Wanda yang ribet gitu. No wonder, sih. Assistant designer kemarin baru lima bulan udah resign.”
“Enggak usah lebay, Gi. She’s nice, kok. Engga separah itu juga, buktinya aku aman-aman aja sama Bu Wanda selama internship kemarin.”
“Sayangku, kamu itu orangnya sabar banget. Terus kerjaan selalu rapih dan terlalu highly dedicated, tau enggak?” ucap Giana. Dia benar-benar tidak habis fikir dengan Jelitha. Anak itu kalau sudah serius dengan suatu hal, dia akan mengerjakannya hingga lupa diri.
“Litha, jelas-jelas jobdesc kamu itu udah melenceng banget. Tiba-tiba diminta jadi personal assistant Bu Wanda juga, padahal harusnya cuman assistant designer.” Lily dengan kesal juga menambahkan.
“Tuh, kan. Mulai lebay, deh.” Jawab Jelitha sedikit malas.
“Hahahaha. Udah lah seng, emang Jelitha senengnya begitu gimana lagi.” Niko mencubit pipi gemas Giana yang sedang terlihat kesal.
“Udah, main board game aja, yuk! Nanti yang kalah harus cuci semua piring kotor!” ujar Lily bersemangat mengambil board game yang telah dia siapkan.
Malam ini, hati Jelitha terasa penuh akan kesenangan dan rasa syukur.
Bertemu dengan Giana dan Lily di masa kuliah, merupakan suatu hal yang sangat Jelitha hargai dan syukuri. Berjuang sendirian untuk merantau dan kuliah, bukanlah hal yang mudah. Mungkin orang luar kira, Jelitha adalah perumpamaan sempurna dari istilah work-life balance girl. Kenyataanya, ia jauh dari itu semua.
Saat ini, ia bertanya-tanya. Apalagi yang dunia siapkan untuk ia hadapi selanjutnya.