Perbedaan Langkah

Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bertepatan dengan permainan golf mereka yang telah usai. Saatnya untuk beristirahat dan menyantap makan siang terlebih dahulu.
Abyaksa dan Niko menaiki buggy car mereka. Niko duduk dibagian pengemudi dan Abyaksa berada di sebelahnya, hanya ada mereka berdua. Mobil yang mereka kendarai mulai berjalan mengikuti rombongan di depan.
“Kemarin gue habis ketemu Gita.” Ucap Aby memulai percakapan.
“Ketemu dimana? Udah lama gue nggak denger kabarnya Gita.”
“Di acara Charity Dinner Baktie semalem. Sekarang dia udah jadi associate di law firm papanya.”
“Wah, nepo baby, nih! Di Roeja and Partners, kan?”
“Iya. Bukan nepo baby, lah. Gita juga pinter dari dulu.”
“Hahahaha iya bercanda doang gue. Sewot amat, masih suka ya lo?”
“Gue semalem hampir nganter Gita pulang.”
“Hah?! Gila ya lo? Kalau Jelitha tahu gimana?” Niko melihat ke arah Aby dengan tatapan terkejutnya.
“Gue malahan di suruh sama Jelitha buat nganter Gita pulang.”
“Maksudnya?! Jelitha udah tahu tentang Gita?” Mobil berhenti mendadak, karena Niko yang tiba-tiba menginjak pedal rem. Aby sudah melayangkan pukulannya ke lengan Niko karena kesal.
“Sorry sorry, refleks gue kaget.” Ujar Niko jujur, sembari menjalankan mobil mereka lagi.
“Gue udah cerita semuanya ke Jelitha. Tentang masa lalu gue sama Gita dan alesan kita putus.”
“Kemarin gue sama Gita ikut after party juga dan driver dia nggak bisa jemput. Gue juga cerita ke Jelitha. Eh, dia malah tiba-tiba suruh gue buat sekalian anter pulang Gita karena udah malem.”
“Terus lo anter beneran?”
“Nggak, lah. Akhirnya gue pesenin taksi aja. Gue juga jaga perasaannya Jelitha, walaupun dia yang nyuruh gue buat anter Gita. Tapi kalau gue di posisi Jelitha juga pasti kepikiran.”
“Bagus, deh. Gue kira lo beneran nganterin mantan lo. Kalau sampai ketahuan si Giana serem, bro.” Niko bergidik ngeri membayangkan bagaimana kekasihnya akan marah, karena sahabatnya disakiti.
“Aman… Tapi memang kadang Jelitha santai banget, dia juga bukan tipe yang gampang cemburu. Bersyukur dia bukan cewek yang posesif. Tapi kadang gue juga jadi nggak enak kalau mau larang-larang.”
“Hahahaha iya, sih. Tapi lo percaya aja, dia juga nggak akan aneh-aneh.”
“Iya kalau itu gue yakin. Cuman dia masih agak kaku kadang. Suka malu kalau mau minta tolong atau takut bikin repot. Padahal gue bakal seneng kalo direpotin dia.”
“Namanya juga baru pertama kali pacaran By.” Aby terkekeh dan mengangguk setuju dengan ucapan Niko.
“Tapi gue lupa, dulu lo kenapa bisa putus sama Gita, deh?”
“Gue yang putusin. Kita putus baik-baik, soalnya ada perbedaan visi misi.”
“Kenapa? Dia ngajak lo childfree?” Tanya Niko dengan tatapan usilnya.
“Kita aja belum kepikiran buat sampai nikah. Gimana mau bahas childfree?”
“Hahahaha gue lupa, lo aja belum ngenalin Gita ke keluarga ya?”
“Kalau secara formal sebagai pacar belum. Tapi kan serumah juga udah kenal baik sama Gita dan keluarganya.”
“Ya ada nilai yang buat gue lumayan penting, tapi buat Gita nggak ada maknanya. Gue nggak lihat bakal ada penyelesaian buat masalah ini kedepannya. Jadi sebelum terlanjur jauh, lebih baik kita berhenti.”
Anggita Roeja
Adalah dimana cinta gue berlabuh semasa kuliah. Sedari awal, Gita bukanlah orang asing dihidup gue. Keluarga besar Roeja yang berkecimpung di bidang hukum, merupakan kawan baik keluarga gue. Baik dalam ikatan bisnis dengan Abraham Group dan juga kawan lama dari eyang.
Pertemuan pertama dengan Gita adalah waktu gue berusia 7 tahun, saat pindah menetap di Jakarta. Teman yang gue punya saat itu hanya Mbak Arrum. Hingga akhirnya, gue masuk bersekolah di SD yang sama dengan Gita. Terlepas dari faktor pertemanan keluarga kami, sangat mudah untuk menjadi dekat dengan Gita. Ia anak yang ramah dan sangat aktif di kelas.
Selama 6 tahun bersama, pertemanan kami menjadi sangat dekat. Sering sekali Gita ikut pulang sekolah bareng gue. Untuk sekedar mampir atau mengajak main bersama Mbak Arrum di rumah. Gue dan Gita juga kerap menemani Ayah dan Om Roeja pergi memancing di akhir pekan.
Tapi, setelah menyelesaikan pendidikan di SD. Kami berdua harus berpisah untuk melanjutkan pilihan pendidikan masing-masing. Gue lanjut bersekolah SMP di Jakarta. Sedangkan Gita saat itu ikut pindah ke Australia dengan abangnya.
Gue kira itu bakal jadi pertemuan terakhir kita. Tapi semesta memang punya caranya tersendiri. Universitas Indonesia menjadi tempat pertemuan gue dan Gita setelah bertahun-tahun terpisah. Anggita pulang ke tanah air dan memutuskan untuk berkuliah disini. Jurusan kuliah yang gue dan Gita ambil berbeda. Kami dipertemukan lagi ketika sedang mendaftar menjadi anggota salah satu organisasi di kampus.
Gue rasa karena perasaan rindu yang sudah lama terpendam. Gue dan Gita jadi cepat merasa nyaman dengan satu sama lain. Kita memutuskan untuk berpacaran dan berjalan hingga satu tahun. Walaupun jurusan studi kita berbeda, tapi kita selalu berusaha untuk saling support satu sama lain.
Saat kuliah, fokus gue terbagi pada banyak hal. Nggak hanya belajar, gue juga udah mulai membantu di kantor Ayah sebagai anak magang. Lalu kesibukan sebagai anggota organisasi di kampus dan aktifitas sosial di luar. Dari awal Gita tahu itu semua. Gue sangat mengapresiasi, karena ia mau berusaha mengerti segala kesibukan gue.
Gue selalu berusaha adil dan selalu memberi waktu untuk hubungan gue dan Gita. Gue juga sadar, bahwa setiap orang pasti punya batas lelahnya tersendiri. Wajar jika Anggita lelah berusaha memahami dan mengikuti semua kesibukan gue.
Mungkin karena rasa lelahnya juga, akhirnya banyak sikap baru dari Gita yang baru gue temukan.
“Nanti siang temenin aku ke acara birthday party Farah ya. Undangan sama dresscode udah aku kirim ke whatsapp kamu.”
“Siang ini? Aku nggak bisa hari ini.”
“Kenapa? Kamu ada acara?”
“Iya, Gita. Siang nanti aku kan ada acara di panti asuhan. Aku udah bilang ke kamu dari minggu lalu.”
“Oh, acara panti. Udah lah nggak usah dateng aja hari ini. Kamu minggu sebelumnya juga udah ikut, kan? Hari ini izin aja. Kamu ikut sama aku, babe.”
“Nggak bisa kayak gitu. Aku termasuk panitia inti buat kegiatan di panti asuhan. Aku sama temen-temen juga udah siapin semuanya, nggak enak juga sama yang lain kalo aku tiba-tiba batalin.”
“Duh ribet banget, sih. Tiap minggu selalu aja kamu ada kegiatan di panti. Kamu emang nggak capek? Mereka juga bosen kali anak-anak panti sama kegiatan kamu itu. Udah lah kasih aja dana yang mereka minta buat mereka urus sendiri.”
“Anggita, nggak semua hal itu tentang uang.”
“Iya, tapi yang mereka butuhin emang uang, kan? Menurutku kamu kasih dana ke mereka selama ini juga udah lebih dari cukup. Nggak perlu kamu harus capek-capek turun langsung kesana, babe.”
“Aku nggak pernah capek kalau buat bantu mereka, dan memang aku sendiri yang mau untuk terjun langsung kesana. Memang kasih dana doang itu gampang. Tapi bukan itu yang aku mau, Gita.”
“Aby aku nggak tahu kenapa lama-lama jadi makin ribet gini.”
“Anggita, kalau kamu memang udah niat mau untuk membantu orang lain. Jangan pernah setengah-setengah mengulurkan tanganmu. Apa yang kamu anggap ini hal sepele, tapi bagi mereka ini bisa berarti besar.”
Gue nggak tahu pasti, apakah ini karena memang ia lelah. Atau mungkin, memang sedari awal ia tidak berusaha untuk memahami. Melainkan hanya memaksakan agar situasi tidak semakin susah.
Sedari kecil, Ibu mengajarkan gue untuk memiliki empati yang tinggi. Gue selalu melihat bagaimana Ibu membagikan kebaikan-kebaikannya, hingga orang sekitar dapat merasa bahagia. Gue terbiasa dengan hal itu.
Selama ini, gue kira orang-orang pada umumnya juga memiliki empati yang tinggi. Seperti apa yang keluarga gue ajarkan dan anut. Tapi dulu gue memang terlalu naif. Faktanya, banyak juga orang yang sudah tidak memiliki hati.
Jika kita membahas tentang cinta harus bertemu orang yang setara, agar semua halnya menjadi lebih mudah. Gue setuju dengan itu. Tapi, seringnya hanya dititik beratkan pada aspek bobot, bibit, bebet.
Disamping itu, memiliki pasangan yang setara pemikirannya ternyata juga sangat penting.