Sisi Lain

thedeepinside
5 min readMar 10, 2024

--

Entah bagaimana, sejak kemarin aku menjadi pulang bersama Aby.

Awalnya, aku kira Niko meminta Aby untuk mengantarkanku pulang. Tapi ternyata bukan. Mungkin inisiatif dari Aby? Tapi kenapa?

Aku tidak enak hati jika harus merepotkan orang lain. Tapi untuk menolak pun rasanya sudah tidak mungkin. Karena dari kemarin, Aby bertingkah sesuka hatinya.

“Ayo pulang.”

Aku sangat kebingungan ketika ajakan itu keluar dari mulut Aby. Kemudian ia menyerahkan helm kehadapanku.

Dia aneh.

Itulah yang terpikirkan olehku. Sejak pertemuan pertama kami, belum ada obrolan yang berarti, selain membahas tentang kegiatan volunteer. Aku pun juga banyak diam dan menyimak saja, ketika ia memberikan arahan.

“Enggak usah, By. Aku pulang sendiri aja. Makasih ya.”

Aku berusaha menjawab dengan sopan, sambil menolak untuk menerima helm yang ia tawarkan sejak tadi.

“Kamu pulang ke apartemen, kan?”

“Iya.”

Entah bagaimana, sekarang Aby sudah berdiri tepat di hadapanku.

Demi Tuhan…

Tanpa aba-aba, ia memasangkan helm ke kepalaku.

Aku masih kaget dengan apa yang sedang terjadi. Aku hanya bisa diam berdiri, sembari menatap lurus ke arah dadanya yang bidang.

“Aku izin ya.”

Ia berkata dengan sedikit menunduk untuk melihat ke arahku. Dengan tangannya yang masih sibuk mengaitkan tali helm.

Aku tersadarkan dan mendongakkan kepalaku ke arahnya. Seketika mata kami langsung bertemu. Bisa ku lihat, tatapan teduhnya ia pusatkan ke arahku.

“I-iya.”

Dengan cepat aku palingkan tatapanku darinya. Aku benar-benar malu dan salah tingkah saat ini. Ayolah, siapa yang siap untuk mendapatkan perlakuan seperti ini secara tiba-tiba?

Jika dalam film romance, menonton adegan seperti ini selalu terlihat romantis dan intim. Tapi aku sendiri bingung dengan situasiku saat ini.

Tidak pernah terpikirkan bahwa adegan ini akan aku rasakan sendiri.

Sesaat bisa ku dengar Aby terkekeh. Wajar jika ia berfikir aku aneh, setelah melihat reaksi yang kuberikan barusan.

“Ayo naik.”

Aku pun hanya bisa menurut dan segara naik ke bagian belakang vespa milik Aby.

Aku sedang menikmati macetnya jalanan Jakarta, bersama hembusan angin terus mengenai wajahku.

Sore ini jalanan sangat ramai, karena sebentar lagi saatnya malam minggu mungkin?

“Jelitha”

Aku sedikit memajukan badanku mendekati Aby, agar bisa mendengar apa yang ia ucapkan.

“Kenapa, By?”

“Keburu-buru pulang nggak kamu?”

“Enggak, kok. Kenapa?”

“Aku mampir bentar boleh?”

“Oh, iya boleh, By.”

Aby kemudian mengangguk sebagai jawaban. Aku tidak tahu ia ingin mampir kemana.

Ku fokuskan kembali diriku mengamati jalanan Jakarta. Sembari kadang membaca tulisan-tulisan yang terpampang di baliho.

“Tha, udah sampe.”

Eh, saking fokusnya melihat jalanan, aku jadi tidak sadar kalau sekarang vespa milik Aby sudah berhenti.

“Kamu mau tunggu di sini atau ikut? Aku cuman sebentar, sih.”

“Emang kamu mau kemana, By?”

“Ke sana.”

Jemari Aby menunjuk ke arah slum area yang berada di depan kami. Sebuah pemukiman di bawah jalan layang. Bisa ku lihat banyak anak-anak yang sedang berlarian disana. Juga ibu-ibu yang sedang berkumpul untuk bercengkrama di depan rumah mereka.

“Aku ikut kamu aja, By.”

“Oke. Aku parkir motor dulu.”

Sekarang aku berjalan mengekor mengikuti langkah kaki Aby. Ketika kami hampir sampai, bisa ku dengar suara teriakan dari anak-anak tadi.

“Kak Abyyy!”

Mereka segera berlari ke arah Aby dan berebutan ingin memeluk Aby. Semuanya sangat excited melihat kedatangan Aby. Bisa ku lihat sekarang Aby memeluk mereka bergantian sambil tertawa. Seperti melihat momen tali kasih antara kakak adik yang sudah lama tidak bertemu.

“Kenalin ini temen kakak, namanya Kak Jelitha.”

Aby memperkenalkanku kepada anak-anak. Mereka mendekatiku dan mengajak bersalaman. Mereka semua sungguh menggemaskan!

Ku lihat Aby mengeluarkan beberapa bungkusan roti dari dalam tas ranselnya. Roti-roti tersebut segera Aby bagikan kepada anak-anak tadi.

“Satu-satu ya, jangan berebut. Iya, semua pasti kebagian.”

Aby terlihat berbeda saat ini.

Ini bukanlah Aby yang ku kenal kurang lebih dua minggu ini. Atau memang ini sisi lain Aby?

Selama ini Aby memang selalu terlihat menikmati kegiatan volunteer, sama seperti aku. Bisa ku lihat Aby adalah orang yang pandai bergaul dan juga aktif. Ia selalu baik kepada siapa pun, serta memiliki jiwa pemimpin yang natural.

Walau terkadang aku masih merasa sedikit kaku jika berinteraksi dengan Aby. Karena ia sangat irit berbicara denganku, tapi aku rasa Aby adalah orang yang tulus.

Seperti saat ini, Aby tiba-tiba saja sudah berada di tengah perkumpulan ibu-ibu. Ia sedang mengobrol sambil tertawa dengan mereka. Entah apa yang sedang mereka bahas, tapi Aby terlihat sangat luwes dan pandai berbaur.

Meskipun, mayoritas laki-laki tidak pandai untuk berbasa-basi terlalu lama dengan ibu-ibu. Tapi Aby berbeda. Para Ibu di kampung ini sepertinya sudah mengenal lama Aby. Terlihat dari gesture mereka yang bisa dengan santainya memeluk tangan Aby atau memukul pelan bahunya. Aby juga tidak masalah dengan itu semua.

Aku bisa mendengar beberapa percakapan mereka. Banyak dari para Ibu mengucapkan terima kasih kepada Aby. Ada juga yang mengatakan agar Aby tidak perlu repot-repot untuk mereka. Semua Aby jawab sambil tersenyum sopan.

“Iya, bu. Saya izin pulang dulu ya. Udah sore ini. Permisi semua.”

Aby berjalan ke arahku. Ia terlihat sangat senang saat ini. Tidak henti-hentinya ia tersenyum sambil menggenggam tali ranselnya.

“Udah, tha. Kita pulang, yuk!”

Aku menganggukkan kepalaku dan ikut berjalan menuju vespa biru Aby.

Sekarang tujuan perjalanan kami adalah apartemenku. Selama di jalan aku masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Banyak hal yang masih menjadi tanda tanya untukku.

Aku sangat penasaran sekarang. Perlukah aku tanya Aby?

Tidak ku hiraukan rasa malu ku. Segera ku maju kan badanku mendekati Aby, agar ia bisa mendengar suaraku.

“Aby.”

“Kenapa, Tha?” katanya sedikit keras dari balik helm.

“Mau tanya boleh?” Aku masih sedikit ragu untuk bertanya.

“Boleh. Kenapa?”

“Kamu sering ya main ke pemukiman tadi?”

Ku dengar ia sedikit tertawa, “Iya, aku sering kesana. Kenapa?”

“Enggak papa, sih. Cuman kelihatan udah saling kenal aja sama orang-orangnya”

“Mungkin tiap bulan aku ada pergi kesana.”

“Oh iya? Dalam rangka apaan, By?”

“Silaturahmi aja, Tha. Kalau ada rezeki juga kadang berbagi ke mereka”

Aku mengerti sekarang! Kenapa hubungan antara ibu-ibu tadi dengan Aby sangat dekat. Kenapa mereka terus-terusan berterima kasih dan meminta agar Aby tidak perlu repot-repot.

“Aby suka berbagi apa aja?” tanyaku masih penasaran.

“Apa aja yang lagi dibutuhin. Bisa makanan, alat kebersihan, atau alat sekolah juga buat anak-anak disana.”

“Aby, kamu baik banget,” ucapku refleks begitu saja.

“Engga, tha. Biasa aja. Bukan suatu hal yang besar juga.” Aby mengelak.

“Mungkin, kamu ngerasanya ini bukan hal besar. Tapi buat mereka yang kamu lakuin bisa jadi penyambung hidup mereka. Jelas ini hal yang besar buat mereka, By.”

Aby terdiam mendengarkan jawabanku.

“Yang penting, semoga bisa bermanfaat aja.” ujar Aby.

Mendengar jawabannya aku tersenyum.

Aku tidak mengira Aby memiliki sisi seperti ini di dirinya.

Ia sangat perhatian dengan sekelilingnya dan hangat.

Jauh berbeda dengan first impression ku padanya.

Memang benar ya, peribahasa “tak kenal maka tak sayang”.

Aku masih belum tau jauh tentang orang di depanku ini.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

thedeepinside
thedeepinside

Responses (1)

Write a response